Singapore, 11 Januari 2012..
“Kamu sakit apa?” Tanya Bapak di seberang
telepon.
“Biasa pak, amandelnya kumat.. uhuk..uhuk.. !!”
Jawabku terbatuk-batuk.
“Makanya jaga kesehatan, jangan minum es, makan
yang pedes,,” Kudengar suara Bapak bergetar. “Kalo sakit gini kan siapa yang
ngurus..”
“Ada mbak Dian, Pak. Dia kan lagi skripsi..
uhuk..uhuk.. jadi sering di rumah. Bapak tenang aja ya..”
Ada hening yang panjang disela obrolan kami.
Begini lah cara kami untuk menyembuhkan rasa sakit di dalam hati. Jarak yang
membentang luas diantara kami berdua membuat luka baru. Rindu kasih sayang dan
perhatian lah luka baru itu. Dan cinta adalah obat bagi kami. Ya, cinta itu
menyembuhkan.
“Gimana kabar mbak Sukma, Pak?” Tanyaku memecah
keheningan.
“Kabarnya baik, persiapan pernikahannya juga
tinggal dikit lagi. Kamu kapan pulang?”
“Minggu depan, Pak.. uhuk..uhuk..!!”
“Yo wes, kamu istirahat ya.. jangan lupa
makan dan minum obat.” Pesan terakhir Bapak selalu membuatku terharu.
“Iya pak, Bapak juga ya, jaga kesehatan. Salam
buat ibu dan mbak Sukma. Assalamuallaikum..”
“Waallaikumsalam..”
Tut..tut..tut..
***
Jogjakarta, 20 Januari 2012.. Siang
hari..
Baskoroooo.. brengseeeeek.. kurang
ajaaaaarrrr….. matiiii koweeee…
Kudengar jeritan mbak Sukma lagi. Mendengar
jeritannya saja sudah membuat orang bergidik ngeri. Tapi jeritan dalam batinnya
lah yang sebenarnya lebih keras dan menyayat hati.
“Pak, ayo digowo ae anake nang rumah sakit,,
aku gak tego pak..” Ibu tak henti-hentinya menangisi anak gadisnya yang
mengalami depresi luar biasa.
“Wes buk,, tenang ya.. mbak Sukma pasti
sembuh kok..” Aku mendekap Ibu agar tenang.
Kulihat Bapak mendekat ke ruangan tempat tinggal
yang baru mbak Sukma. Ruang terbuka namun tak ada kasur, lemari, bahkan meja rias
yang biasa anak perempuan punya. Hanya ada mbak Sukma dengan kakinya yang
terpasung.
Baskorooooooooo… kowe lapo ninggalno
aku…. Aaaaarrrrgggggghhhhhh…
Mbak Sukma bersiap melakukan tindakan menyakiti
diri sendiri, kemudian Bapak mendekat dan mencegahnya. Bapak mendekap mbak
Sukma dengan lembut dan membisikkan sesuatu kepadanya. Kulihat Bapak menetaskan
air mata, kepedihan yang terasa dari seorang ayah.
“Maafin Bapak ya nduk,,”
Sayup-sayup kalimat itulah yang aku dengar dari
Bapak. Perlahan mbak Sukma menghentikan jeritan dan omelannya. Kidung-kidung
lirih terdengar seperti ‘nina bobo’ buat mbak Sukma. Dia semakin tenang
dan nampak lelah hingga membuatnya tertidur di dekapan Bapak.
“Pak, maafin Sukma ya..”
Sepertinya mbak Sukma mengigau seperti biasa.
Itulah bukti bahwa dia sebenarnya tidak gila, hanya mengalami guncangan jiwa
yang hebat. Setidaknya itulah yang diyakini Bapak. ‘dia pasti sembuh’ begitu
kata Bapak. Dan aku semakin yakin juga bahwa cinta itu menyembuhkan..
***
Saat ini..
“Selamat ya nduk,, kamu jadi lulusan terbaik..
Bapak bangga sama kamu..”
“Jangan nangis toh pak,, malu banyak orang..”
Ibu menyenggol lengan Bapak. Dengan cepat Bapak mengusap air disudut matanya.
Dan diganti dengan senyum haru.
“Justru aku yang bangga sama Bapak. Pria berhati
besar, peternak bebek asal Jogja yang berhasil menyekolahkan anaknya sampai
luar negeri. Dan mempunyai dua anak gadis yang cantik dan pintar..”
Kami bertiga pun tak kuasa menahan haru yang
tercipta. Kudekap kedua orang tuaku seperti baru pertama kali bertemu. Lama dan
hening.
“Sekarrrrrrr…..” Teriak seseorang di kejauhan.
“Mbak Sukma…”
Hari ini akan menjadi hari terbaik dan terindah
dalam hidupku. Lengkap sudah kebahagiaan ini karena semua sakit yang pernah
kami alami, kini sembuh dan cinta lah obatnya.
Fin.
Dedicate to my father..
miss him so much..
:)